SRU MADAKKO

Pagi hari seorang teman, Ayub yang setahu saya saat itu sedang berada di kampung halamannya di Palopo mengirim sebuah tautan ke wall facebook saya. Isi tautan tentang adanya dua orang pendaki yang hilang di kawasan pegunungan Bawakaraeng. Saya pun langsung mencari kebenaran berita tersebut dengan menghubungi beberapa kawan yang saya anggap bisa cepat mendapatkan informasi mengenai kebenaran berita tersebut. Akhirnya, melalui seorang kawan yang berada di Malino, Ical yang juga merupakan operator salah satu vendor outbound Malino Adventure memberi kabar kepada saya bahwa betul ada pendaki yang hilang, sementara dia dan beberapa rekannya beserta warga setempat sedang melakukan pencarian.

Tidak lama kemudian saya juga mendapat kabar bahwa tim pencari dari Makassar sementara bergerak menuju kaki gunung untuk melakukan pencarian. Biasanya, kalau mendapat informasi musibah kecelakaan gunung, saya langsung respon cepat dan sesegera mungkin bergerak ke lokasi kejadian. Tetapi , hari itu saya masih stand by di makassar sambil terus memantau perkembangan informasi dari lokasi kejadian karena masih ada pekerjaan tertunda yang masih harus diselesaikan besok harinya.

Malam harinya, saya diajak ngopi oleh kawan-kawan kampus, Udi, Awa,Ancha, Ari, Erlin dan Asmin di warkop Daeng Boss daerah Tamalanrea. Kami pun berkumpul dan berbincang-bincang, pembicaraan pun bukan tentang kejadian pendaki yang hilang di Bawakaraeng. Ditengah kami bercerita, tiba-tiba saya mendapatkan telepon dari salah satu senior di kampus, Kak Enal dan memberi kabar kalau yang hilang di gunung Bawakaraeng adalah salah satu alumni di kampus, saya pun menyampaikan informasi ini ke teman-teman ngopi saya, kami langsung bergeser ke kampus untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas. Sampai dikampus, saya dan beberapa teman pun bersepakat untuk berangkat malam itu juga ke kaki gunung, saya juga sempat menemui pengurus lembaga di fakultas dan menyampaikan berita ini agar mereka juga ikut terlibat paling tidak menunjukkan rasa solidaritas ke alumni.

Setelah semua peralatan kami anggap lengkap, kami pun meninggalkan kota makassar dan menuju ke kaki gunung Bawakaraeng. Kami berangkat sekitar jam dua malam, Saya berangkat bersama Asmin dengan mengendarai sepeda motor, kawan-kawan yang lain mengendarai mobil. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam kami tiba di Kota Malino, hawa malam itu sangat dingin, karena baru saja turun hujan. Karena merasa lapar kami pun mencari warung yang masih buka, sepanjang jalan kota malino kami pelan-pelan sambil melihat, apakah masih ada warung yang buka, maklum saat itu waktu sudah menunjukkan jam empat subuh. Akhirnya kami mendapatkan sebuah warung kopi tepat di depan markas tentara Secata yang masih buka, kami pun singgah dan memesan dua mie siram campur bakso. Subuh itu sepertinya rasa lapar diperparah dengan hawa dingin kota Malino sehingga membuat kami semakin menginginkan kehangatan. Tidak lama, mie bakso siram pesanan kami pun datang, tak lupa kami campur dengan sambal tumis yang extra pedas, kecap dan jeruk nipis sehingga menambah lezatnya, harga per mangkuk mie siram baksonya sangat terjangkau hanya sepuluh ribu rupiah.

Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan ke dusun Lembanna, Kaki gunung Bawakaraeng. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat puluh lima menit, kami tiba di sana. Di sana juga sudah tiba rombongan kawan-kawan tadi yang mengendarai mobil. Kami pun menuju posko pencarian yang sebelumnya sudah ada di sana untuk berkoordinasi sekaligus melaporkan diri untuk terlibat dalam pencarian, tapi karena semua sudah beristirahat akhirnya kami langsung ke basecamp untuk beristirahat juga.

Pagi hari, saya dan Asmin pun bangun, lalu mempersiapkan diri untuk bergabung dengan tim pencari lainnya. Ternyata tim gabungan sudah berangkat melakukan pencarian. Kami akhirnya memutuskan juga untuk berangkat, setelah berkoordinasi dengan posko pencarian kami pun menawarkan diri untuk mencari di wilayah jalur Madakko, karena belum ada tim yang menyisir di daerah sana. Setelah diberi ijin, kami pun diberi call sign SRU Madakko oleh SMC (SAR mission commander) saat itu, Pak Darul dari kantor SAR Makassar. Setelah menyetel Handy Talky kami untuk menyamakan frekuensi dengan tim yang lain, kami pun berangkat dengan mengendarai sepeda motor menuju dusun Madakko. Dalam tim ini hanya saya dan Asmin, Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, kami tiba di sana dan memarkir kendaraan di rumah kebun milik salah satu warga di sana. Jalur Madakko merupakan jalur alternatif untuk menuju gunung Bawakaraeng, jalur ini dusun yang sama dengan jalur Veteran, tetapi bedanya kalau jalur Veteran tembusnya di antara pos 4 dan pos 5, maka jalur Madakko langsung tembus di pos 5, tepatnya di sungai pos 5.

Setelah menyampaikan informasi ke beberapa warga yang kami temui di jalan tentang adanya pendaki yang hilang di gunung Bawakaraeng, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang dibuat oleh warga, sekitar 15 menit kami berjalan, kami mulai memasuki hutan, menyusuri bekas hutan yang telah terbakar beberapa waktu lalu. Jalur madakko relatif terbuka dan kurang pohon besar karena kebakaran hutan yang sering terjadi di sini. Karena medan yang terbuka dan berbatu, kami berjalan juga sangat hati-hati karena tidak ada sama sekali jalur yang kelihatan, kami hanya mencari string line yang pernah ada terpasang sebelumnya sebagai patokan. Beberapa kali kami singgah karena terhalang kabut, sehingga kami harus menunggu kabut hilang agar bisa melihat string line pada jalur. Di sepanjang perjalanan kami juga mencari tanda-tanda keberadaan survivor dan sesekali berteriak memanggil nama kedua survivor. Kami sempat disorientasi jalur karena kehilangan string line, beberapa string line tampak jatuh dan terhalang oleh tingginya rumput, kami sempat melihat ke arah pos 5 dan tertutup oleh kabut, saya singgah dan memonitor di handytalky yang saya bawa, mendengar bahwa pos 5 memang sedang hujan keras. Beberapa kali kami memanggil posko induk Lembanna bermaksud menyampaikan posisi dan kondisi terakhir kami tetapi tidak pernah tembus, barangkali karena provokasi kami kurang bagus saat itu. Tidak lama hujan pun perlahan turun di tempat kami, Kami pun beristirahat, memasang flysheet , dari tempat kami beristirahat, sesekali jika kabut hilang tampak bukit pos 7 dan bukit sekitaran pos 5.

Sepertinya hujan saat itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, kami membongkar flysheet dan packing serta memasang marker ESAR pada kertas terang berwarna orange, tanda bahwa kami sudah menyisir dan tidak ada lagi tim pencari yang masuk menyisir di wilayah tersebut. Dari tempat kami beristirahat, medan sangat terbuka, hanya rumput dan tumpukan batuan yang terhalang oleh tingginya rumput. Kami berjalan terus menanjak mengarah ke bukit wilayah sekitaran pos 5, sekitar satu jam kami berjalan, kami akhirnya tiba di dekat sungai, sumber air pos 5.

Kami beristirahat sejenak di sungai, tampak ada satu tenda di pinggir sungai, kami mencoba memanggil tetapi tak satupun yang ada di dalam tenda yang keluar. Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 5, setiba di pos 5 kami mendapatkan informasi dari tim pencari lainnya yang sudah duluan tiba, bahwa survivor telah ada dan sementara berjalan menuju kampung lembanna, survivor bertemu dengan tim pencari di sekitaran jalur ke lembah Ramma. “Alhamdulillah….”, kata kami.

Karena saat itu masih hujan, kami pun berteduh di tenda yang telah di buat oleh teman-teman pencari lainnya di pos 5, sambil menunggu informasi lebih jelasnya, kami juga menunggu pecahan tim pencari yang sementara berjalan menuju pos 8 untuk melakukan pencarian, ternyata mereka belum mendapatkan informasi bahwa kedua survivor telah ditemukan, karena komunikasi melalui handytalky tidak tembus, beberapa kali tim di pos 5, posko induk Lembanna dan bantuan repeater RAPI mencoba menghubunginya tetapi tidak tembus juga.

Akhirnya sekitar jam setengah lima sore, komunikasi ke tim pos 8 tembus berkat bantuan salah satu repeater RAPI, dengan metode point to point akhirnya informasi mengenai telah kembalinya kedua survivor sampai juga ke tim pos 8, tim pos 8 pun melakukan persiapan untuk segera turun kembali dan bergabung di Lembanna.

Karena hari sudah terlalu sore dan tim pos 8 juga sudah mendapat kabar, akhirnya saya dan Asmin pun memutuskan untuk kembali turun juga ke Lembanna, kami pun pamit ke kawan-kawan yang ada di pos 5. Waktu saat itu menunjukkan sekitar jam lima , kami melanjutkan perjalanan dengan jalur yang sama saat kami naik, sekitar satu jam kami berjalan akhirnya kami tiba di dusun Madakko, dan langsung menuju Lembanna. Karena merasa lapar, kami pun mencari warung makan di kampung beru, kampung sebelum masuk ke Lembanna. Sepertinya mie siram bakso menjadi idola warga di sini, sepanjang jalan hanya warung itu yang ada, padahal hari itu kami mencari warung yang menyediakan nasi, kami pun singgah di salah satu warung bakso, Harga per porsi juga sama dengan mie siram bakso Malino hanya sepuluh ribu rupiah. Setelah makan, kami langsung ke lembanna dan melapor ke posko induk, bahwa kami sudah kembali dalam kondisi sehat walaafiat, setelah melapor kami langsung ke basecamp dan beristirahat.

Esok harinya, kami bersiap dan pamit ke tuan rumah, tata Mudding yang saat itu masih terbaring di kasur depan TV, dia mengeluhkan sering sakit kepala yang tiba-tiba datang. Tata Mudding berumur sekitar 80 tahun, masih setia dengan kopi hitam dan rokok kreteknya, walupun sakit. Seperti biasa, Tata selalu tersenyum dan ramah terhadap siapapun tamu yang berkunjung ke rumahnya, termasuk kami para pendaki yang menjadikan rumahnya sebagai basecamp. Hari itu Tata Mudding mengatakan, “ tena ruginna antu jama-jamannu mae abboya tau ribawakaraeng, tattakko anjari penolong salama nukulleji, ka tena ruginna antu, jama-jamang baji antu ridallekanna Allah ta’ala”. Yang artinya kira-kira begini : tidak ada ruginya itu pekerjaan yang kalian lakukan mencari orang di Bawakaraeng , tetaplah menjadi penolong selama kamu bisa karena tidak ada ruginya, apa yang kalian lakukan adalah mulia di hadapan Allah SWT.

Setelah pamit dan bercerita sedikit dengan Tata dan beberapa anaknya kami pun pamit sekali lagi, kami pun menuju Makassar. Di jalan setelah melewati Kota Malino kami sempat singgah di kios penjual cendol, kami memesan dua gelas cendol di campur tape, sungguh nikmat. Selain cendol kami juga memakan gogos dicampur sambal yang terasa pas rasanya dengan hawa malino yang dingin. Setalah merasa cukup, kami pun membayar ke ibu penjual cendol. Harga dua gelas cendol dan empat gogos hanya tujuh belas ribu rupiah, kami pun sempat kaget karena sangat murah, hitung-hitungan kami sekitar tiga puluh ribuan yang akan kami bayar, ternyata tidak. Tempat ini sangat recomended buat siapa saja yang akan ke Malino.

Kami melanjutkan perjalanan ke Makassar, sekitar dua jam kami berkendara akhirnya kami tiba di Samata. Karena hujan deras, kami berteduh di perempatan Samata, kami pun mencari tempat berteduh yang menyediakan kopi, kami berteduh tepat di sebelah putaran jalur poros jalan Aroeppala, sambil menunggu hujan reda kami menikmati kopi hangat buatan ibu kios.

“Sungguh nikmat ini perjalanan, serasa tidak ada beban hidup, serasa jadi pengusaha besar kita ini “ .kata Asmin.

Bagaimana tidak, hari itu kami berdua seharusnya masuk kantor, tetapi kami sepakat untuk menikmati hari itu. “ sekali-kali merasakan jadi bos tidak apa-apaji toh, ha….”. tambah Asmin.

Setelah hujan agak reda, kami melanjutkan perjalanan. Asmin mengantar saya ke rumah, Asmin pun melanjutkan perjalanan ke rumahnya.

 

….perjalanan ini dilakukan sehari sebelum momentum gerhana matahari total tahun 2016…

 

 

Leave a comment